Jurnalis Nusantara Satu | Kartasura-Sejak tahun 2015 sampai sekarang, sudah seringkali saya sampaikan soal kesakralan Kidung, baik secara tertutup ataupun terbuka. Terhadap para Akademisi dan Penegak Adat, tidak sedikit pula para Doktor dan Mahasiswa menerima penjelasan dari saya secara detail.
Bahwasanya eksistensi Kidung di Nusantara, disepakati menjadi salah satu Tarekat (jalan rohani) Bangsa Jawa yang sudah ada sejak zaman Kalingga yakni pada masa kehidupan Ratu Shima.
Kemudian berkembang hingga ke masa Medang Kamulan, Kahuripan, Singhasari, Pajajaran, Majapahit, Pakungwati, Demak Bintara, Giri Kedhaton, Pajang, Mataram Islam, Kesultanan Cirebon baik Kasepuhan ataupun Kanoman dst.
Sampailah pada paska mangkatnya Pangeran Dipanegara, kemudian Adat Kidung dikalangan Bangsa Jawa itu secara umum berangsur-angsur menuju kepunahan. Tragis! Pada wilayah kesejarahan ini, saya memiliki bukti primernya. Setidaknya beberapa manuskrip kuno warisan Leluhur saya, cukup sebagai alasan fundamental.
Sampailah pada tahun 2003/2004 saya tergugah untuk kembali merilis Sastra Kidung hingga berjilid-jilid. Dan ditahun 2014, saya rilis salah satu karya Kidung saya secara terbuka, kemudian dikenal sebagai tembang sakral abad digital, Kidung Wahyu Kalaseba. Yang booming hingga sekarang! Tentu ini semua tidak Lepas dari dan berkat jasa besar Mas Andi Zate serta Ki Dalang Danang Suseno.
Begini! Bahwa tidak semua Sastra Kidung itu ditembangkan. Karena Kidung itu tidak 100% beresensi nyanyian. Kidung adalah Adat Bangsa Jawa yang didalamnya memiliki misi medar jagat, penghayatan jati diri, representasi dari ilmu Sangkan Paraning Dumadi dan Panembahan. Maksudnya Kidung tidak harus dibawakan dengan intonasi khusus.
Sungguh Kidung itu Tarekat Bangsa Jawa yang berdiri di atas bait-bait Suluk. Kidung merupakan rangkaian Sastra Jawa berfilosofi tinggi dan sarat rohani. Ini fenomena, hanya sedikit saja Anak Jawa yang paham.
Para Penghulu Rohani Jawa berkata! Kesakralan dari Kidung tidak diperkenankan dibawakan sembarangan. Butuh konsentrasi, penataan Adab dan mengejawantah. Ini berlaku bagi orang-orang yang bertaraf khusus!
Diriwayatkan bahwa Ratu Shima bila mendengar Kidung, langsung khusyuk diam, memejamkan mata dan menunduk! Pun para Raja-raja di Jawa, tidak pernah sembrana pada hal-hal yang berkaitan dengan Kidung. Dikalangan Bangsawan Keraton sampai sekarang, tradisi seperti ini masih berlangsung. Yakni khidmat saat ber-Kidung.
Lihat saja! Karya sastra Kidung milik Kanjeng Sunan Lemah Abang yang berbunyi Manunggaling Kawula Gusti yang tetap abadi hingga sekarang. Menunjukkan bahwasanya Kidung itu bukan sembarang karya. Ada proses panjang sehingga susunan kata dikatakan sebagai Kidung. Butuh lelaku, tirakat, wening dan Guru panuntun.
Tak heran! Jika tidak sedikit para Penegak Adat, Sejarawan dan Tokoh Agama sampai detik ini masih tertarik membahas Kidung Manunggaling Kawula Gusti. Artinya menunjukkan bahwa Tarekat Bangsa Jawa dalam dunia Kidung benar-benar berkelas Langitan! Eksisnya sastra Kidung Manunggaling Kawula Gusti itu bukti primer tak terbantahkan! Pamuji saya: "Suwargi langgeng kagem Kanjeng Sunan Lemah Abang."
Maaf-maaf saja! Saya tidak tertarik membahas pembelokan sejarah Kidung Wahyu Kalaseba yang dinisbatkan kepada Kanjeng Sunan Kalijaga. Karena sejarahnya sudah saya anggap final! Tinggal nalar sehat kita saja yang mensikapinya. Pun jangan gegabah jika bukan ahlinya!
Saya ulang! Dari abad ke abad tentang kedahsyatan Tarekat Bangsa Jawa yang dikemas dalam Sastra Kidung dimana terbukti bisa diterima eksistensinya oleh semua umat manusia, Agama dan keyakinan, pun dapat menghipnotis jiwa seseorang sekalipun tidak Berbangsa Jawa ataupun tidak mengerti arti baitnya, dulu kala hingga sekarang. Merupakan steatment recehan bila tiba-tiba ada yang meneriaki sesat!
Sesatnya dimana?! Akan lebih bijak jika dipelajari dulu sejarahnya, dikenali frasa sastranya, mengerti arti kata bakunya, paham makna tata kalimatnya, minimal dikaji bersama pakarnya. Jika tidak demikian, tiba-tiba menghakimi dunia per-Kidungan sebagai kesesatan adalah fitnah dan sama sekali tidak berbobot. Nalar sehatnya dimana?! Sudahlah.
Kita Anak Jawa tidak perlu terkecoh oleh provokasi yang sama sekali tak bernalar. Lahir di Jawa, Hidup di Jawa, makan di Jawa, di dalam tubuh mengalir darah Jawa dan mati pun dikubur di tanah Jawa. Jangan malu menjadi Anak Jawa, tunjukkan Jawamu! Diantaranya dengan secara seksama menegakkan Adat, melestarikan Budaya dan merawat kearifan lokal.
Intinya adalah yen kowe Jawa aja ilang Jawamu. Yen ora paham, sinau. Nek pengen ngerti, takon.
•••••••••••••••••••••••••••••••••••
LIRIK KIDUNG WAHYU KÅLÅSÉBÅ
(Tembang Sakral Abad Digital)
Rumêkså Ingsun
Laku Nisthå Ngåyå Wårå
Kêlawan Mêkak Håwå
Håwå Kang Dur Angkårå
Sênadyan Sétan Gêntayangan
Tansah Gawé Rubédå
Hinggå Pupusing Jaman
Hamêtêg Ingsun
Nyirêp Gêni Wiså Murkå
Mêpêr Hardhåning Påncå
Sabên Ulêsing Nétrå"
Linambaran Sih Kawêlasan
Ingkang Paring Kamulyan
Sang Hyang Jati Pengéran
Jiwanggå Kalbu
Samudrå Pêpuntoning Laku
Tumuju Dhatêng Gusti
Dzat Kang Amurbå Dumadi
Manunggaling Kawulå Gusti
Krêntêg Ati Bakal Dumadi
Mukti Ingsun Tanpå Piranti
Sumêbyar Ing Suksmå
Madu Sarining Pêrwitå
Manéka Warnå Prådå
Mbangun Pråjå Sampurnå
Sêngkålå Tidhå Mukså
Kålåbêndu Nyåtå Sirnå
tyasing Råså mardikå
Mugiyå Dèn Sêdyå
Pusåkå Kalimåsådå
Yêkti Dadi Mustikå
Sajroning Jiwå Rågå"
Bêjå Mulyå Waskithå,
Digdåyå Båwå Leksånå
Byar Manjing Sigrå-sigrå
Ampuh Sêpuh Wutuh
Tan Kênå Iså Panêluh
Gagah Bungah Sumringah
Ndadar Ing Wayah-wayah
Satriyå Tåtå Sêmbådå
Wiråtåmå Katon Sèwu Kartikå
Kataman Wahyu Kålåsebå
Memuji Ingsun
Kanthi Suwitå Linuhung
Sêgårå Gåndå Arum
Suh Rêp Dupå Kumêlun
Ginulah Niat Ingsun
Hangidung Sabdå Kang Luhur
Titahing Sang Hyang Agung
Rêmbêsing Trêsnå
Tåndhå Luhing Nétrå Råså
Råså Rasaning Ati
Kadyå Tirtå Kang Suci
Kawistårå Jåpå Måntrå
Kondhang Dadi Pêpadhang
Palilahing Sang Hyang Wenang
Nåwå Déwå Jawåtå
Tali Santikå Bawånå
Prasidå Sidhikårå
Ing Sasånå Asmårålåyå
Sri Naréndrå Kålåsébå
Winisudhå Ing Gêgånå
Datan Gingsir Sèwu Warså
Sri NaréndråKålåsébå
Winisudhå Ing Gêgånå
Datan Gingsir Sèw
#KidungWahyuKalaseba
Penulis : Sri Narendra Kalaseba